Judul : Manaqib Imam Ibnu Sholah Rh
link : Manaqib Imam Ibnu Sholah Rh
Manaqib Imam Ibnu Sholah Rh
Pada kesempatan kali ini, kita akan sejenak mengenal sosok Ibnu Shalah, yang disebut-sebut sebagai perintis disiplin ilmu musthalah hadits sehingga menjadi disiplin ilmu yang mandiri, yang menyempurnakan kitab-kitab ilmu hadis terdahulu.
Nama Beliau
Ibnu Shalah bernama Taqiyyuddîn Abu ‘Amr Utsman bin Abdurrahman bin Utsman bin Musa bin Abi Nashr An-Nashri al-Kurdi Asy-Syarakhani al-Syahrazuri. Pemilik kunyah Abu Amr ini dijuluki Taqiyuddin, ketakwaan dalam agama. Ia adalah seorang ulama bermazhab Syafi’i yang sangat terkenal di masanya.
Kelahiran Beliau
Ibnu Shalah dilahirkan lebih dari delapan abad yang lalu, tepatnya pada tahun 577 H, di wilayah kota Arbil, salah satu kota besar di negeri Irak bagian utara yang didominasi oleh suku Kurdi. Tepatnya di desa Shahrazur, daerah Sheikhan, Ibnu Shalah kecil dilahirkan. Beliau lahir di tengah-tengah keluarga keturunan Kurdi yang bermazhab Syafi’i.
Perjalanan Menuntut Ilmu
Guru pertama Ibnu Shalah adalah ayahnya sendiri, Abdurrahman, seorang ulama pakar disiplin ilmu fikih bermazhab Syafi’i. Dari ayahnya yang berjuluk Shalahuddin inilah, Ibnu Shalah kecil memulai langkahnya sebagai penuntut ilmu. Ayahnya yang memiliki kunyah Abul Qasim ini mendidik Ibnu Shalah dengan sangat baik sedari beliau masih kecil. Di masa kanak-kanaknya, Ibnu Shalah kecil telah menyerap berbagai macam pelajaran berupa prinsip-prinsip ilmu dasar, dari sang ayahanda. Dikisahkan bahwa Ibnu Shalah mengulang bacaan kitab Muhadzdzab di hadapan ayahnya sekian kali padahal kala itu kumisnya belum tumbuh.
Setelah menyadari bahwa anaknya tidak bisa belajar kepada banyak guru dan tidak mampu berkembang jika hanya menuntut ilmu di desa, maka sang ayah pun memutuskan untuk mengirim Ibnu Shalah kecil ke Mosul, ibu kota wilayah Niwana, yang dekat dengan sungai Tigris. Di Mosul inilah, Ibnu Shalah belajar berbagai disiplin ilmu agama yang lebih banyak lagi. Ia mempelajari ilmu tafsir, hadis, dan selainnya.
Dikisahkan bahwa semenjak itu Ibnu Shalah sering pindah ke berbagai kota di berbagai belahan dunia guna menghilangkan dahaganya terhadap ilmu agama yang begitu agung ini. Beliau pernah mengunjungi Bagdad, Damaskus, Nishapur, Haran, Hamadan, Mary di Turkmenistan, dan kota lainnya yang teramat jauh dari kampung halamannya. Ia berguru dengan sekian banyak ulama yang ia jumpai di penjuru dunia.
Diceritakan ketika Ibnu Shalah tiba di Damaskus, kota terbesar di Suriah, ia ber-mulazamah bersama Imam Iraqi. Bersama beliaulah, ia mendalami fikih mazhab Syafi’i. Ia menimba ilmu darinya dengan sangat tekun, sehingga Imam Iraqi pun tak jarang memuji beliau.
Ibnu Shalah tidak lupa untuk mengunjungi tanah suci dalam rangka menunaikan rukun Islam kelima, yaitu ibadah haji, sebelum dan sesudah ia kelak menetap di Damaskus. Sebagaimana biasanya, ia tidak menjadikan suatu perjalanannya melainkan untuk menambah khazanah ilmunya.
Ibnu Shalah terus menuntut ilmu dari berbagai ulama di berbagai belahan dunia, menyimak periwayatan banyak hadis, dan memperdalami beberapa cabang ilmu agama lainnya, hingga akhirnya Allah mendudukkannya di atas singgasana keilmuan yang sangat tinggi, sebuah kedudukan yang amat mulia.
Guru-Guru Beliau
Di Shahrazur: Abdurrahman bin Utsman, ayahnya sendiri, dll.
Di Mosul:
Ubaidillah bin as-Samin, termasuk guru pertama Ibnu Shalah
Nashr bin Salamah al-Hiti
Mahmud bin Ali al-Maushili
Abul Muzhaffar bin al-Barni
Abdulmuhsin bin ath-Thusi, dll
Di Bagdad:
Abu Ahmad bin Sukainah, ulama besar di tanah Bagdad
Abu Hafsh bin Thabarzadza, dll
Di tanah Persia:
Abul Qasim Abdulkarim bin Abul Fadhl ar-Rafi’i, imam besar mazhab Syafi’i, dll
Di Hamadan: Abul Fadhl bin al-Mu’azzam, dll
Di Nishapur:
Abul Fath Manshur bin Abdulmun’im bin al-Furawi
Al-Muayyad bin Muhammad bin Ali ath-Thusi
Zainab binti Abul Qasim asy-Sya’riyyah
Al-Qasim bin Abu Sa’d ash-Shaffar
Muhammad bin al-Hasan ash-Sharram
Abul Ma’ali bin Nashir al-Anshari
Abu an-Najib Isma’il al-Qari, dll
Di Mary: Abul Muzhaffar bin as-Sam’ani, dll
Di Aleppo: Abu Muhammad bin al-Ustadz, dll
Di Damaskus:
Fakhruddin Ibnu Asakir, ulama besar mazhab Syafi’i
Muffaquddin Ibnu Qudamah, ulama besar di masanya
Al-Qadhi Abul Qasim Abdushshomad bin Muhammad bin al-Harastani
Di Haran: Al-Hafizh Abdulqadir ar-Ruhawi, dll
Dakwahnya
Setelah perjalanannya yang teramat panjang dalam rangka menempuh salah satu jalan surga, yaitu menuntut ilmu, Ibnu Shalah menetap di Yerusalem. Di sana, ia mengajar sebagai guru di madrasah Shalahiyyah, atau juga biasa disebut Nashiriyyah, yang didirikan oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Kemudian beliau kembali ke Damaskus ketika tembok kota Yerusalem diultimatum hendak diruntuhkan.
Di Damaskus, Ibnu Shalah mengajar di madrasah ar-Rahawiyyah. Beliau adalah pengajar pertama di madrasah yang dibangun oleh Ibnu Rahawah tersebut. Saat raja Asyraf mendirikan Darul Hadits al-Asyrafiyyah, ialah yang ditunjuk untuk mengurusi lembaga tersebut dan mengajar di sana. Lalu Ibnu Shalah meminta ayahnya pindah untuk mengajar di madrasah Assadiyyah, tepatnya di Aleppo, Suriah. Di sinilah kemudian ayahnya wafat, tepat pada bulan Zulkaidah, tahun 618 H. Ibnu Shalah juga pernah mengajar di madrasah Sittu asy-Syam Zamrad Khatun atau yang dinamakan pula asy-Syamiyyah al-Jawwaniyyah, atau asy-Syamiyyah ash-Shugra.
Di Damaskus inilah, Ibnu Shalah menjadi ulama yang sangat besar. Berbagai penuntut ilmu dari sekian negeri berbondong-bondong ingin duduk di majelisnya, mengambil saripati ilmu yang beliau sampaikan, dan menyerap ilmu hadis yang beliau ajarkan. Jika dahulu beliau adalah murid dari sekian banyak guru, kini beliau berevolusi menjadi guru dari sekian banyak murid. Ia sibuk berdakwah, mengajari murid-muridnya, menjadi mufti dan rujukan dalam berbagai permasalahan, serta menulis berbagai karya. Beliau menuai berbagai macam pujian dari para muridnya dan ulama yang semasa dengannya maupun setelahnya. Subhanallah, inilah buah dari ilmu, mengangkat derajat seseorang di dunia, sebelum kelak di surga.
Kepribadian Beliau
Ibnu Shalah adalah imam yang cerdas, tajam pemikirannya, bersungguh-sungguh dalam menempuh jalan menuntut ilmu. Tak hanya itu, ilmu yang beliau memiliki berbuah manis sehingga beliau pun bersungguh-sungguh dalam mengamalkan ilmunya, menegakkan ketaatan dan beribadah kepada Allah.
Beliau menguasai banyak disiplin ilmu agama, semisal tafsir, hadis, fikih, usul fikih, hadis, nama-nama perawi, bahasa, dan selainnya.
Jika kita menukil pujian-pujian berbagai ulama, maka kita akan dapati nukilan yang sangat banyak. Imam Dzahabi menggelari beliau dengan sebutan, “Ia adalah imam, hafizh, allamah, syaikhul Islam…” Begitu pula sanjungan yang dilontarkan Ibnu Katsir, as-Subki, as-Suyuthi, dan selain mereka.
Ibnu Shalah disifati sebagai ulama yang wara’, menjaga diri dari hal-hal yang Allah haramkan, dan bersikap zuhud, meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat untuk urusan akhirat. Beliau pula digambarkan sebagai sosok yang berakidah lurus, meniti jejak salafus saleh.
Kitab Muqaddimah Ibnu Shalah
Titik awal sempurnya penyusunan ilmu hadis berasal dari kitab beliau, Ma’rifah Anwa’ Ulum al-Hadits atau yang lebih populer dengan nama Muqaddimah Ibnu Shalah. Tak heran jika beliau dianggap pionir dalam penyusunan metodologi kritis hadis. Kitab ini disebut-sebut merupakan salah satu karya terbesar dalam bidang ilmu hadis, sekaligus muara kematangan penyusunan literatur bidang ilmu hadis. Ibnu Shalah mengajarkan kitab ini di Damaskus kepada murid-muridnya. Selain itu, kitab ini pula merupakan sumbangsih beliau terhadap fukaha yang hendak mempelajari ilmu hadis. Keistimewaan karya ini adalah banyaknya para ulama yang menjelaskan kitab ini di dalam karya-karya mereka dan ada pula yang meringkasnya.
Kitab ini merupakan upaya yang sangat maksimal dalam melengkapi kelemahan di sana-sini karya-karya sebelumnya, seperti karya-karya al-Khatib dan ulama lainnya. Dalam kitabnya itu, ia menyebutkan secara lengkap 65 cabang ilmu Hadis dan menuangkan segala sesuatunya dengan detail. Mungkin ini pula yang menyebabkan kitab ini tidak cukup sistematis sesuai dengan judul babnya.
Secara metodologis juga materi pembahasan, karya-karya yang muncul belakangan tidak bisa melepaskan diri untuk selalu mengacu pada kitab ini. Popularitas kitab ini disebabkan karena ketercakupan bahasannya yang mampu mengapresiasi semua pembahasan ilmu Hadis. Bahkan keunggulan kitab ini telah menarik para ulama, khususnya yang datang sesudahnya, untuk memberikan komentar kitab tersebut. Tidak kurang dari 33 kitab telah membahas kitab Ibnu al-Shalah itu, baik berupa ikhtishar (ringkasan), syarh (ulasan), nazhm (puisi, syair), dan mu’radhah (perbandingan).
Dalam bentuk ulasan (syarh), muncul beberapa kitab yang sangat detail memberikan ulasannya.Misalnya:
1. Al-Taqyid wa al-Idhah lima Athlaqa wa Aghlaqa min Kitab Ibn al-Shalah karya al-Iraqi (w. 608 H),
2. Al-Ifshah an Nuqat Ibn al-Shalah karya al-Asqalani (w. 852 H), dan karya Al-Badar Al-Zarkasyi (w. 794 H) yang belum diketahui judulnya.
Sedang dalam bentuk ringkasan (ikhtisar), antara lain memunculkan kitab:
Mahasin al-Ishthilah wa Tadlmin Kitab Ibn al-Shalah karya al-Bulqini. Kitab ini meski berupa ringkasan, namun banyak memberikan ulasan penting, catatan, dan beberapa penjelasan tambahan.
Al-Irsyad yang kemudian diringkas lagi oleh penulisnya sendiri, Imam al-Nawawi (w. 676 H), dengan judul Al-Taqrib wa al-Taisir li Ma’rifat Sunan al-Basyir wa al-Nadzir. Anehnya, kitab yang merupakan ringkasan dari kitab-kitab sebelumnya, kemudian diberikan syarh oleh al-Suyuti (w. 911 H) dalam kitab yang diberinya judul Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi. Al-Suyuti juga menulis kitab Al-Tadznib fi al-Zaid ala al-Taqrib yang menambal di sana-sini kekurangan kitab al-Nawawi.
Badr Al-Din Muhammad bin Ibrahim bin Jama’ah Al-Kannani (w. 733 H), misalnya, menulis kitab Al-Minhal al-Rawi fi al-Hadis al-Nabawi, yang kemudian diberikan syarh oleh Izz al-Din Muhammad bin Abi Bakar bin Jama’ah dengan judul Al-Manhaj Al-Sawi fi Syarh al-Minhal al-Rawi.
Abu al-Fida’ Imad al-Din Ismail bin Katsir (w. 774 H) juga tidak ketinggalan. Ia menulis ikhtisar terhadap karya Ibn al-Shalah itu ke dalam satu kitab yang diberinya judul Al-Ba’is al-Hasis.
Ala’ al-Din al-Mardini, Baha’ al-Din al-Andalusi, dan beberapa ulama lainnya.
Selain dalam bentuk syarh dan ikhtisar, karya Ibn al-Shalah ini juga mendorong para ulama untuk menuliskan bait-bait syair yang berisi kaidah-kaidah pokok ilmu Hadis sesuai yang tercantum dalam kitab Muqaddimah Ibn al-Shalah. Upaya ini dikenal dengan nama nazham yang untuk pertama kalinya dilakukan oleh al-Zain al-Iraqi Abd al-Rahim bin al-Husain (806 H). Bahkan ia menulis hingga seribu-an (alfiyah) bait-bait itu dalam Nazhm al-Durar fi Ilm al-Atsar yang lebih mashur dengan julukan Alfiyah al-Iraqi.
Entah mengapa al-Iraqi kemudian juga memberikan syarh terhadap bait-baitnya sendiri. Ada dua syarh yang ditulis oleh al-Iraqi. Syarh yang ringkas dan yang panjang lebar. Syarh yang ringkas diberinya judul Fath al-Mughis bi Syarh Alfiyah al-Hadis,sedang yang panjang belum diketahui judulnya.
Di samping itu, bait-bait yang diciptakan al-Iraqi itu juga memacu para ulama untuk memberikan syarh terhadap syair gubahan al-Iraqi itu. Ada banyak ahli Hadis yang menulis sebuah karya khusus mengomentari bait-bait itu, seakan tak henti-hentinya menguras energi ide para ulama.
Di antara sekian banyak karya itu, karya al-Sakhawi yang diberi judul sama dengan syarh yang ditulis al-Iraqi, Fath al-Mughis fi Syarh Alfiyah al-Hadis,merupakan karya yang paling cukup dikenal.
Mungkin melihat popularitas Alfiyah al-Iraqi yang sedimikian hebat, al-Suyuti—ulama yang dikenal rival ilmiah al-Sakhawi—lalu menulis kitab alfiyah tentang ilmu Hadis yang berisi beberapa tambahan penjelasan penting terhadap materi dalam Alfiyah al-Iraqi.
Al-Suyuti juga memberikan syarh sendiri terhadap bait-bait yang dibuatnya itu. Namun, syarh yang diberinya judul Al-Bahr al-Ladzi Zakhar fi Syarh Alfiyah al-Atsar, tak selesai ia rampungan secara keseluruhan.
Belakangan hari, karya itu dilengkapi oleh ulama Indonesia asli, Syekh Mahfuz al-Tirmasi. Ulama kelahiran Tremas, dekat Ngawi, menulis sebuah syarh yang berjudul Manhaj Dzawi al-Nadhar fi Syarh Mandhumat Ilm al-Atsar, yang hingga kini masih dijadikan rujukan di beberapa perguruan tinggi di TimurTengah.
Murid-Murid Beliau
Murid beliau dalam ilmu fikih:
Syamsuddin Ibnu Khallikhan, seorang hakim, pengarang kitab Wifayat Al-A’yan
Syamsuddin Ibnu Nuh al-Maqdisi, murid yang terkenal dalam fikih mazhab Syafi’i
Imam Kamaluddin Sallar, guru Imam Nawawi
Imam Kamaluddin Ishaq, juga murid dari Ibnu Asakir, dimakamkan di samping kuburan Ibnu Shalah
Al-Qadhi Taqiyyuddin Ibnu Razin, dll
Murid beliau dalam ilmu hadis:
Tajuddin Abdurrahman
Majduddin Ibnul Muhtar
Fakhruddin Umar al-Karaji
Al-Qadhi Syihabuddin Ibnu al-Khuwayyi
Al-Muhaddits Abdullah bin Yahya al-Jazairi
Al-Mufti Jamaluddin Muhammad bin Ahmad asy-Syarisyi
Al-Mufti Fakhruddin Abdurrahman bin Yusuf al-Ba’labaki
Nashiruddin Muhammad bin Arabsyah
Muhammad bin Abu adz-Dzikr
Asy-Syaikh Ahmad bin Abdurrahman asy-Syahruzuri an-Nasikh
Kamaluddin Ahmad bin Abul Fath asy-Syaibani
Asy-Syihab Muhammad bin Musyarrif
Ash-Shadr Muhammad bin Hasan al-Urmawi
Asy-Syaraf Muhammad bin Khathib Bait al-Abbar
Nashiruddin Muhammad bin al-Majd bin al-Muhtar
Al-Qadhi Ahmad bin Ali al-Jili
Asy-Syihab Ahmad bin al-Afif al-Hanafi, dll
Karya Beliau
Ahadits fi Fadhli al-Iskandariyyah wa Asqalan
Al-Ahadits al-Kuliyyah
Adab al-Mufti wa al-Mustafti
Al-Amali
Hadits ar-Rahmah
Hukmu Shalati al-Raghaib
Hilyah al-Imam asy-Syafi’i
Syarh Ma’rifah Ulum al-Hadits milik al-Hakim an-Naisaburi
Syarh al-Waraqat milik Imam al-Haramain fi Ushul al-Fiqh
Shilah an-Nasik fi Shifah al-Munasik
Shiyanah Shahih Muslim min al-Ikhlal wa al-Ghalath wa Himayatuhu min al-Isqath wa as-Saqth
Thabaqat Fuqaha’ asy-Syafi’iyyah
Ma’rifah Anwa’ Ulum al-Hadits, kitab inilah yang lebih populer dengan nama Muqaddimah Ibnu Shalah
Al-Fatawa
Fawaid ar-Rihlah
Mukhtashar fi Ahadits al-Ahkam
Musykil al-Wasith
Musykilat al-Bukhari
Al-Mu’talaf wa al-Mukhtalaf fi Asma’ ar-Rijal
An-Naktu ‘ala al-Muhadzdzab
Washlu Balaghah al-Muwaththa’
Waqfu Dar al-Hadits al-Asyrafiyyah
Wafatnya
Setiap yang berjiwa pasti akan mati. Itu adalah kepastian yang tak terbantahkan. Nabi, ulama, siapa pun akan meninggalkan dunia, tempat singgah yang sementara. Tanpa terkecuali Ibnu Shalah. Setelah berumur lebih dari 60 tahun, ia jatuh sakit. Ia kemudian wafat menjelang Subuh, pada hari Rabu, tanggal 25 bulan Rabiulakhir 643 H, di kota Damaskus, Suriah. Lalu disalatkan di masjid besar Damaskus selepas salat Zuhur. Semoga Allah merahmatinya.
Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda
Demikianlah Artikel Manaqib Imam Ibnu Sholah Rh
Sekianlah artikel Manaqib Imam Ibnu Sholah Rh kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Manaqib Imam Ibnu Sholah Rh dengan alamat link https://manfaatobatini.blogspot.com/2017/01/manaqib-imam-ibnu-sholah-rh.html